Dilema Mobil Otonom
Ayu Estiana
Ayu Estiana
| 21-11-2025
Oto Team · Oto Team
Dilema Mobil Otonom
Bayangkan Anda sedang duduk santai di kursi belakang sebuah mobil yang melaju sendiri. Tidak ada tangan manusia yang memegang kemudi. Tiba-tiba, seorang anak berlari menyeberangi jalan. Di sisi kiri terdapat sekelompok pejalan kaki, sementara di sisi kanan berdiri tembok beton yang kokoh.
Dalam sekejap, mobil harus "memutuskan" apa yang harus dilakukan dan keputusan itu bisa menentukan siapa yang hidup atau terluka. Inilah titik pertemuan antara kecanggihan teknologi dan dilema moral yang selama ini hanya kita diskusikan dalam teori.

Inti dari Dilema Besar Ini

Mobil otonom diciptakan untuk mengurangi kecelakaan, tetapi tidak ada teknologi yang benar-benar dapat menghapus risiko. Dalam situasi tertentu, tabrakan tetap tak terhindarkan. Pada momen seperti itulah algoritma harus "memilih" konsekuensi yang paling kecil dampaknya.
Lalu pertanyaannya muncul:
- Haruskah mobil memprioritaskan keselamatan penumpangnya dibanding siapa pun di luar kendaraan?
- Atau sebaliknya, apakah mobil harus meminimalkan jumlah korban secara keseluruhan meski itu berarti mengorbankan penumpang?
- Apakah faktor usia, kedisiplinan di jalan, atau peran sosial seseorang pantas masuk ke perhitungan algoritma?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi sekadar bahan obrolan abstrak. Hari ini, pertanyaan itu menjadi fondasi keputusan rekayasa, kebijakan publik, dan strategi perusahaan teknologi besar.

Saat Etika Harus Ditulis Menjadi Kode

Mengubah prinsip moral menjadi barisan kode bukanlah pekerjaan sederhana. Setiap masyarakat memiliki nilai yang berbeda. Ada yang menekankan perlindungan terhadap yang muda, ada yang mengutamakan kesetaraan, dan ada pula yang memilih netral tanpa perhitungan siapa yang lebih "bernilai".
Begitu sebuah nilai moral dimasukkan ke dalam sistem kendaraan otonom, keputusan itu akan berdampak pada jutaan pengguna. Berbeda dengan manusia yang kadang bertindak spontan, mesin tidak memiliki naluri. Mereka hanya mengeksekusi apa yang telah ditanamkan ke dalam algoritmanya.
Dan di sinilah tantangan terbesarnya: bagaimana menentukan satu standar moral yang bisa diterima masyarakat luas?

Transparansi vs. Rasa Aman Pengguna

Jika perusahaan mobil otonom membuka detail algoritmanya secara terang-terangan, sebagian konsumen mungkin justru merasa tidak nyaman. Bayangkan membaca keterangan seperti: "Kendaraan ini diprogram untuk mengurangi jumlah korban meskipun Anda sebagai penumpang tidak menjadi prioritas utama."

Apakah Anda tetap ingin membelinya?

Namun jika perusahaan menyembunyikan informasi itu, rasa percaya publik bisa goyah. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana keputusan krusial diambil oleh sebuah mesin yang mereka percayakan dengan keselamatan diri mereka.
Para ahli seperti Azim Shariff menilai bahwa kepercayaan pada kendaraan otonom hanya akan terbangun jika perilaku mesin selaras dengan nilai moral masyarakat. Kepercayaan itu pula yang bisa runtuh apabila algoritma dianggap bertentangan dengan harapan publik.
Dilema Mobil Otonom

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Dilema tidak berhenti di bagian etika. Ada lapisan lain yang tak kalah rumit: hukum dan tanggung jawab.
Jika sebuah mobil otonom mengambil keputusan yang menyebabkan kerugian, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
- Pabrik pembuat kendaraan?
- Pengguna yang memutuskan memakai teknologi tersebut?
- Pengembang perangkat lunak yang menyediakan pembaruan sistem?
Hukum lalu lintas selama ini dibangun berdasarkan perilaku manusia. Namun kendaraan otonom menggeser kendali kepada sistem digital. Banyak negara sedang berupaya memperbarui peraturannya, tetapi hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai model tanggung jawab terbaik.

Faktor Manusia yang Tidak Bisa Diabaikan

Walaupun kita menuntut mesin membuat keputusan moral yang sempurna, kenyataannya manusia sendiri jarang bisa melakukan hal serupa dalam kondisi darurat. Dalam hitungan milidetik, pengemudi biasanya hanya bereaksi secara naluriah. Tidak ada rumus yang dihitung, tidak ada kalkulasi siapa yang lebih layak selamat.
Tetapi ironisnya, ketika teknologi yang mengambil keputusan itu adalah mesin, kita menuntut kesempurnaan. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi kita untuk menyerahkan kendali moral kepada algoritma.

Membangun Masa Depan yang Lebih Bijak

Untuk mencari jalan keluar, beberapa gagasan mulai berkembang:
- Pedoman global yang mengatur prinsip etis dasar dalam pengembangan kendaraan otonom.
- Pilihan etika bagi konsumen, misalnya mode yang memprioritaskan penumpang atau mode yang meminimalkan jumlah korban.
- Partisipasi publik, agar masyarakat turut menentukan nilai moral apa yang pantas dijadikan standar.
Tidak ada solusi yang benar-benar sempurna. Namun inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa dilema moral bukan sekadar teori, tetapi bagian nyata dari desain produk dan kebijakan masyarakat modern.
Kendaraan otonom menjanjikan perjalanan yang lebih aman, lebih efisien, dan memberi kebebasan bagi mereka yang tidak bisa menyetir. Namun teknologi ini juga memaksa kita menghadapi pertanyaan mendasar: bagaimana nilai manusia dihitung ketika keputusan diambil oleh mesin?
Mungkin inilah pengingat terpenting: teknologi tidak menggantikan tanggung jawab moral kita. Justru, semakin canggih dunia kita, semakin besar kebutuhan akan pemikiran kolektif yang bijak.